Rabu, 29 Agustus 2018

IBUKU


IBUKU
By amieoppe
Setiap kali aku mendapatkan rejeki, aku pasti teringat akan kamu. Rutinitas yang selalu aku dan kamu lakukan bersama sampai detik ini masih terngiang dalam benakku. Jalan-jalan, makan bersama atau hanya sekedar bertemu dan bercerita serta berkeluh kesah. Semua masih jelas di pelupuk mata. Senyumanmu...ah..ibu..tanpa terasa air mataku berlinang saat kenangan bersamamu muncul.
Apalagi hari ini, saat aku menerima sms dari bank, jika rekeningku nominalnya bertambah. Alhamdulillah...langsung saja aku buru-buru bergegas meraih helmku dan kupanggil anakku. “kak..mau ikut mimi ga?” teriakku.
“kemana mi?”
“Udah naik aja, yuk..”
Lalu kami berdua langsung naik sepeda motor. Di tengah perjalanan, ku bayangkan abis ini ke rumah ibu dulu jemput beliau, lalu kita jalan-jalan terus beli soto kesukaanku dan ibu. Tapi tiba-tiba...IBU ? kuberhentikan motorku dan, Astaghfirllah...
“Kenapa mi kok berhenti?” tanya si kakak
“ Nggak..nggak apa-apa, mimi Cuma lupa nanya kakak mau makan dimana.” Jawabku menutupi kegugupanku.
“ Terserah mimi, kakak iku aja.”
“ Okelah kalau begitu, Bismillah yuk...”
Setelah memesan makanan yang kami milih, kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Hal ini sudah kesekian kalinya terjadi. Aku masih lupa jika ibuku telah pergi. Kami begitu menyanyanginya, tapi Allah lebih menyanyangi beliau dan mengambilnya dari kami. Sosok ibu begitu berperan bagi anak-anaknya, terlebih bagiku. Beliau bukan wanita biasa. Beliau adalah sosok wanita yang kuat dan gigih. Tanpa beliau mungkin kami anak-anaknya belum bisa seperti ini. Perjuangan ibu untuk kehidupan keluarga kami begitu luar biasa. Ibuku adalah wanita bekerja yang tidak pernah lupa akan kondratnya sebagai istri dan ibu rumah tanggah. Ibu bekerja pada perusahaan BUMN yang menuntut segala pikiran dan tenaga yang luar biasa. Berangkat pagi, sebelum kami anak-anaknya berangkat ke sekolah dan suaminya ke kantor. Ayahku seorang abdi negara yang dengan sabar mendampingi istrinya. Hal yang paling teringat padaku adalah, pesan yang selalu beliau sampaikan pada anak-anaknya khususnya anak perempuan. Menurut beliau, cah wedhok ki ora mung nyadong wong lanang ( perempuan itu jangan hanya meminta sama laki-laki / suami ) perempuan itu harus pintar, bisa bekerja membantu suami. Karena menurut beliau, seorang ibu adalah menjadi akar dalam suatu keluarga. Kalau ibunya pintar, minimal urusan dalam rumah tangga bisa terurus dengan baik. Apalagi di tambah suami yang sholeh nduk...insyAllah uripmu makmur. Aamiin...jawab kami serempak waktu itu. Ibu biasa berkomunikasi dengan kami anak-anaknya saat beliau menemani kami belajar sambil beliau beberes urusan rumah yang baru bisa beliau handel selepas pulang kantor.
            Kebiasaan yang tak pernah kami lupa lagi, saat kami makan. Ibu berusaha memehui gizi kami , anak-anaknya yang berjumlah 7 orang. Kalau liat telor asin sampai sekarang suka nangis sendiri. Karena ibu biasa memotong telor asin menjadi 4 bagian agar cukup untuk ketujuh anaknya dan semua keluarga. Di tambah sayur bayam yang biasa ibu petik di belakang rumah. Orang tuaku, baik ayah dan ibu mengajarkan kami anak-anaknya, bahwa sekolah itu penting. Mereka rela tidak punya TV demi pendidikan anak-anaknya. Disaat teman-teman ibu sekantor sudah punya mobil, kami harus puas dengan motor bebek yang mengantarkan kami ke sekolah secara bergantian. Ah...ibu..kasihmu sepanjang masa. Sampai kau tiadapun, kami selalu merindukanmu. Kami sekarang sudah bisa berdiri sendiri dan membantu suami kami. Ibu..pesanmu melekat di hatiku. Setidaknya sebelum ibu wafat, ibu bisa melihat kami bahagia...katamu saat itu, melihat kalian bahagia saja, ibu sangat bahagia. Semoga kau bahagia di SurgaNYA...Aamiin..

#daftarodop6



 

HIJRAH

Membaca buku ini, KHODIJAH belum juga kelar-kelar. Atau semakin menuju ke tahap penyelesaian, tergambar bagaimana kehidupan Khodijah ...