Senin, 19 November 2018

1998


1998
By Amieopee

Kucari sosok diantara barisan pendemo. Tapi tak kutemukan. Semua jaket almamater warna biru berjejer sambil mengelu-elukan lengsernya sebuah kekuasaan orde baru. Aku memang bukan seorang aktivis kampus. Tapi aku harus ikut di dalam barisan ini, bukan karena ikut demo tapi karena mencari sosok Dirgantara. Ya dia adalah salah satu aktivis kampus dimana aku belajar. Dia adalah seseorang yang dekat denganku setahun ini.
Tahun 1998
Tahun ini adalah tahun ketiga aku belajar di kampus ini. Aku Ananta, anak dari seorang abdi negara dengan gaji pas-pasan untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi Bapakku selalu menanamkan kepada anak-anaknya untuk bisa melanjutkan kuliah setinggi-tingginya. Bapakku harus bekerja lagi sepulang kantor dengan menjadi pemangkas rambut dan berjualan kain batik demi membiayai anak-anaknya kuliah. Pesan bapakku setiap kali beliau berkumpul dengan anak-anaknya. Saat  aku harus berangkat kuliah keluar kota, aku diingatkan lagi bahwa aku harus selalu ingat bagaimana orang tuanya mencari nafkah untuk biaya kami kuliah, jadi kami tidak bermalas-malasan dalam menuntut ilmu.
Tahun ini, 1998 adalah tahun krisis moneter. Yang selalu aku ingat adalah pesan Bapak. Yaitu belajar sungguh-sungguh, karena aku bukan anak orang kaya. Aku  kuliah karena kerja keras orang tuaku, makanya aku tidak terlena untuk ikut-ikutan demo. Bukan aku tak punya jiwa solidaritas atau cinta Negara. Tapi tujuanku belajar dan belajar untuk dapat nilai yang terbaik dan lulus tepat waktu. Aku tak mau usaha orang tuaku sia-sia.
Masih di tahun 1998
Aku tetap menerobos diantara barisan mahasiswa-mahasiswa yang sedang berdemo. Akhirnya kutemukan sosok itu. Kutarik lengan bajunya untuk menepi keluar barisan.
“ Ada apa sih?” tanyamu kesal.
“ Kamu tidak pernah menggubris omonganku, kenapa kamu masih ikut demo? Janjimu padaku apa? “
“ Aku tak bisa berpangku tangan, mereka mengirimi bingkisan pakaian dalam. Kamu tahu artinya apa?”
“ Peduli apa dengan pakaian dalam? Keselamatanmu lebih penting. Kamu liat teman-teman kita yang tertembak? Apa peduli mereka?” jawabku penuh emosi.
Kamu terdiam. Dua teman kami tertembak karena menyuarakan keadilan yang entah keadilan yang bagaimana. Aku tak peduli semua itu. Aku hanya keselamatanmu dan teman-teman semua yang aku merasa kita para mahasiswa hanya untuk alat untuk pencapaian tujuan-tujuan golongan tertentu. Dan kamu dan teman-teman berdemo hanya karena dapat kiriman bingkisan pakaian dalam yang katanya menggambarkan kalian tak punya nyali untuk membela keadilan. Entah keadalan macam apa.
“ Sudah kamu pulang, aku dan teman-teman akan meneruskan perjuangan ini.”
“ Dirgaa..”
Tahun 1998, pukul 23.00
Aku baru saja mendapat kabar dari Andi, kalau Dirgantara menghembuskan nafas yang terakhir. Rasanya tak percaya siang tadi aku masih berdebat denganmu. Semua tulangku terasa ngilu dan kaku. Akupun tak berdaya. Andai kamu mau mendengarkan aku tadi, tahun ini kita bisa wisuda bersama.

#tantanganhistoricalfiction
#kelasfiksi
#onedayonepost
#odop_6

7 komentar:

  1. Wah, ini seperti menyaksikan sendiri kondisi tahun 1998. Aku masih kecil saat itu, tdk tahu kisah sebenarnya seperti apa.

    BalasHapus
  2. Merinding bacanya.
    Tema yang sangat saya suka. Ini bisa dibuat lebih galak lagi konfliknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. masih belajar, nanti coba revisi. makash

      Hapus

HIJRAH

Membaca buku ini, KHODIJAH belum juga kelar-kelar. Atau semakin menuju ke tahap penyelesaian, tergambar bagaimana kehidupan Khodijah ...