1998 ( versi
revisi )
By Amieopee
Kucari sosok diantara barisan pendemo. Tapi tak
kutemukan. Semua jaket almamater warna biru berjejer sambil mengelu-elukan
lengsernya sebuah kekuasaan orde baru. Aku memang bukan seorang aktivis kampus.
Tapi aku harus ikut di dalam barisan ini, bukan karena ikut demo tapi karena
mencari sosok Dirgantara. Ya dia adalah salah satu aktivis kampus dimana aku
belajar. Dia adalah seseorang yang dekat denganku setahun ini.
Tahun 1998
Tahun ini adalah tahun ketiga aku belajar di kampus
ini. Aku Ananta, anak dari seorang abdi negara dengan gaji pas-pasan untuk
kebutuhan sehari-hari. Tapi Bapakku selalu menanamkan kepada anak-anaknya untuk
bisa melanjutkan kuliah setinggi-tingginya. Bapakku harus bekerja lagi sepulang
kantor dengan menjadi pemangkas rambut dan berjualan kain batik demi membiayai
anak-anaknya kuliah. Pesan bapakku setiap kali beliau berkumpul dengan
anak-anaknya. Saat aku harus berangkat
kuliah keluar kota, aku diingatkan lagi bahwa aku harus selalu ingat bagaimana
orang tuanya mencari nafkah untuk biaya kami kuliah, jadi kami tidak
bermalas-malasan dalam menuntut ilmu. Kata-kata Bapak yang selalu teringat
dalam kepalaku adalah urip iku koyo main ketropak. Ono wayange ono
seng jalanke, yaiku Gusti Allah. Nglakoni seng kudu dilakoni. Tapi ora mung
nrima. Kudu usaha lan donga. ( Hidup itu seperti sandiwara. Ada pemain
ada yang menjalankan yaitu Allah. Menjalankan apa yang harus dijalankan. Tidak
hanya menerima, harus usaha dan berdoa.)
Tahun ini, 1998 adalah tahun krisis moneter. Yang
selalu aku ingat adalah pesan Bapak. Yaitu belajar sungguh-sungguh, karena aku
bukan anak orang kaya. Aku kuliah karena
kerja keras orang tuaku, makanya aku tidak terlena untuk ikut-ikutan demo.
Bukan aku tak punya jiwa solidaritas atau cinta Negara. Tapi tujuanku belajar dan
belajar untuk dapat nilai yang terbaik dan lulus tepat waktu. Aku tak mau usaha
orang tuaku sia-sia.
Masih di tahun 1998
Aku tetap menerobos diantara barisan
mahasiswa-mahasiswa yang sedang berdemo. Akhirnya kutemukan sosok itu. Kutarik
lengan bajunya untuk menepi keluar barisan.
“ Ada apa sih?” tanyamu kesal.
“ Kamu tidak pernah menggubris omonganku, kenapa kamu
masih ikut demo? Janjimu padaku apa?”
“ Aku tak bisa berpangku tangan, mereka mengirimi
bingkisan pakaian dalam. Kamu tahu artinya apa?”
“ Peduli apa dengan pakaian dalam? Keselamatanmu lebih
penting. Kamu liat teman-teman kita yang tertembak? Apa peduli mereka?” jawabku
penuh emosi.
“ Harga diri! Harga diri kita diinjak-injak! Kamu tak
pernah paham!”
“ Persetan dengan pakaian dalam! Kutang? Sempak? Apa?
Ini kan pakaian dalam itu!”
Kuhamburkan bingkisan yang dikirim kelompok demo
lainnya yang kubawa dari kampus. Kutumpahkan di depan Dirgantara. Kuinjak-injak
dengan penuh emosi.
“KAMU!” hampir saja tangan Dirgantara terdampar
dipipiku. Tapi terhenti. Tatapan tajam matamu menusuk hatiku. Sangat jelas
garis amarah yang tertahan diwajahmu. Kamu meninggalkanku dan masuk ke barisan
pendemo lagi.
Aku terdiam mematung diantara kerumunan orang-orang
pintar yang tiba-tiba bodoh. Orang-orang yang hanya berdiri disini demi
kepentingan golongan tertentu. Mereka tidak sadar dimanfaatkan. Sama seperti
kamu Dirgantara. Aku mencintaimu. Aku tak mau kamu mati sia –sia seperti dua
teman kami tertembak karena menyuarakan keadilan yang entah keadilan yang bagaimana.
Aku tak peduli semua itu. Aku hanya keselamatanmu dan teman-teman semua yang
aku merasa kita para mahasiswa hanya untuk alat untuk pencapaian tujuan-tujuan
golongan tertentu. Dan kamu dan teman-teman berdemo hanya karena merada harga
diri yang diinjak-injak hanya karena dapat kiriman bingkisan pakaian dalam yang
katanya menggambarkan kalian tak punya nyali untuk membela keadilan. Entah
keadilan macam apa.
Suasanapun tambah mencekam. Bunyi tembakan
dimana-mana. Hujan buatan yang diciptakan untuk para pendemopun mulai membasahi
bumi pertiwi. Tak terlihat lagi mana teman mana lawan. Mereka beradu tindih,
entah memperjuangkan siapa. Aku mulai menepi. Karena sosok yang ingin
kuselamatkan dari keegoisan sudah tak tampak dipelupuk mata.
Tahun 1998, pukul 23.00
Aku baru saja mendapat kabar dari Andi, kalau
Dirgantara kena tembak. Dia sekarang sudah berada di rumah sakit. Akupun menuju
kesana dengan perasaan tak menentu. Kukuatkan hati agar aku sanggup menjalankan
motor bebeku sampai ke tempat tujuan. Walaupun beribu tanya dihati berkecambuk.
Kuberlali dikoridor rumah sakit, sambil mencari sosok-sosok yang mungkin ku
kenal. Ku lihat segerombolan pemuda berjaket biru dengan keadaan yang
mengenaskan. Darah dimana-mana.
“ Andi, mana Dirga?”
“ Dirgaa..”
“ Kenapa?”
Perasaanku sudah tak karuan. Aku menerobos masuk ke
kamar IGD. Disana kulihat sosok yang sudah terbujur kaku. Tubuhku lemas
seketika. Tulang-tulangku tiba-tiba kaku. Mulutku tak bisa berkata. Tangiskupun
tak mengeluarkan airmata. Dirgantara menghembuskan nafas yang terakhir. Rasanya
tak percaya siang tadi aku masih berdebat denganmu. Andai kamu mau mendengarkan
aku tadi, tahun ini kita bisa wisuda bersama.
#onedayonepost
#Odop_6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar