Sabtu, 29 Desember 2018

1998 ( versi revisi )

1998 ( versi revisi )
By Amieopee

Kucari sosok diantara barisan pendemo. Tapi tak kutemukan. Semua jaket almamater warna biru berjejer sambil mengelu-elukan lengsernya sebuah kekuasaan orde baru. Aku memang bukan seorang aktivis kampus. Tapi aku harus ikut di dalam barisan ini, bukan karena ikut demo tapi karena mencari sosok Dirgantara. Ya dia adalah salah satu aktivis kampus dimana aku belajar. Dia adalah seseorang yang dekat denganku setahun ini.

Tahun 1998
Tahun ini adalah tahun ketiga aku belajar di kampus ini. Aku Ananta, anak dari seorang abdi negara dengan gaji pas-pasan untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi Bapakku selalu menanamkan kepada anak-anaknya untuk bisa melanjutkan kuliah setinggi-tingginya. Bapakku harus bekerja lagi sepulang kantor dengan menjadi pemangkas rambut dan berjualan kain batik demi membiayai anak-anaknya kuliah. Pesan bapakku setiap kali beliau berkumpul dengan anak-anaknya. Saat  aku harus berangkat kuliah keluar kota, aku diingatkan lagi bahwa aku harus selalu ingat bagaimana orang tuanya mencari nafkah untuk biaya kami kuliah, jadi kami tidak bermalas-malasan dalam menuntut ilmu. Kata-kata Bapak yang selalu teringat dalam kepalaku adalah urip iku koyo main ketropak. Ono wayange ono seng jalanke, yaiku Gusti Allah. Nglakoni seng kudu dilakoni. Tapi ora mung nrima. Kudu usaha lan donga. ( Hidup itu seperti sandiwara. Ada pemain ada yang menjalankan yaitu Allah. Menjalankan apa yang harus dijalankan. Tidak hanya menerima, harus usaha dan berdoa.)

Tahun ini, 1998 adalah tahun krisis moneter. Yang selalu aku ingat adalah pesan Bapak. Yaitu belajar sungguh-sungguh, karena aku bukan anak orang kaya. Aku  kuliah karena kerja keras orang tuaku, makanya aku tidak terlena untuk ikut-ikutan demo. Bukan aku tak punya jiwa solidaritas atau cinta Negara. Tapi tujuanku belajar dan belajar untuk dapat nilai yang terbaik dan lulus tepat waktu. Aku tak mau usaha orang tuaku sia-sia.



Masih di tahun 1998
Aku tetap menerobos diantara barisan mahasiswa-mahasiswa yang sedang berdemo. Akhirnya kutemukan sosok itu. Kutarik lengan bajunya untuk menepi keluar barisan.
“ Ada apa sih?” tanyamu kesal.
“ Kamu tidak pernah menggubris omonganku, kenapa kamu masih ikut demo? Janjimu padaku apa?”
“ Aku tak bisa berpangku tangan, mereka mengirimi bingkisan pakaian dalam. Kamu tahu artinya apa?”
“ Peduli apa dengan pakaian dalam? Keselamatanmu lebih penting. Kamu liat teman-teman kita yang tertembak? Apa peduli mereka?” jawabku penuh emosi.
“ Harga diri! Harga diri kita diinjak-injak! Kamu tak pernah paham!”
“ Persetan dengan pakaian dalam! Kutang? Sempak? Apa? Ini kan pakaian dalam itu!”
Kuhamburkan bingkisan yang dikirim kelompok demo lainnya yang kubawa dari kampus. Kutumpahkan di depan Dirgantara. Kuinjak-injak dengan penuh emosi.
“KAMU!” hampir saja tangan Dirgantara terdampar dipipiku. Tapi terhenti. Tatapan tajam matamu menusuk hatiku. Sangat jelas garis amarah yang tertahan diwajahmu. Kamu meninggalkanku dan masuk ke barisan pendemo lagi.
Aku terdiam mematung diantara kerumunan orang-orang pintar yang tiba-tiba bodoh. Orang-orang yang hanya berdiri disini demi kepentingan golongan tertentu. Mereka tidak sadar dimanfaatkan. Sama seperti kamu Dirgantara. Aku mencintaimu. Aku tak mau kamu mati sia –sia seperti dua teman kami tertembak karena menyuarakan keadilan yang entah keadilan yang bagaimana. Aku tak peduli semua itu. Aku hanya keselamatanmu dan teman-teman semua yang aku merasa kita para mahasiswa hanya untuk alat untuk pencapaian tujuan-tujuan golongan tertentu. Dan kamu dan teman-teman berdemo hanya karena merada harga diri yang diinjak-injak hanya karena dapat kiriman bingkisan pakaian dalam yang katanya menggambarkan kalian tak punya nyali untuk membela keadilan. Entah keadilan macam apa.

Suasanapun tambah mencekam. Bunyi tembakan dimana-mana. Hujan buatan yang diciptakan untuk para pendemopun mulai membasahi bumi pertiwi. Tak terlihat lagi mana teman mana lawan. Mereka beradu tindih, entah memperjuangkan siapa. Aku mulai menepi. Karena sosok yang ingin kuselamatkan dari keegoisan sudah tak tampak dipelupuk mata.



Tahun 1998, pukul 23.00
Aku baru saja mendapat kabar dari Andi, kalau Dirgantara kena tembak. Dia sekarang sudah berada di rumah sakit. Akupun menuju kesana dengan perasaan tak menentu. Kukuatkan hati agar aku sanggup menjalankan motor bebeku sampai ke tempat tujuan. Walaupun beribu tanya dihati berkecambuk. Kuberlali dikoridor rumah sakit, sambil mencari sosok-sosok yang mungkin ku kenal. Ku lihat segerombolan pemuda berjaket biru dengan keadaan yang mengenaskan. Darah dimana-mana.
“ Andi, mana Dirga?”
“ Dirgaa..”
“ Kenapa?”
Perasaanku sudah tak karuan. Aku menerobos masuk ke kamar IGD. Disana kulihat sosok yang sudah terbujur kaku. Tubuhku lemas seketika. Tulang-tulangku tiba-tiba kaku. Mulutku tak bisa berkata. Tangiskupun tak mengeluarkan airmata. Dirgantara menghembuskan nafas yang terakhir. Rasanya tak percaya siang tadi aku masih berdebat denganmu. Andai kamu mau mendengarkan aku tadi, tahun ini kita bisa wisuda bersama.


#onedayonepost
#Odop_6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HIJRAH

Membaca buku ini, KHODIJAH belum juga kelar-kelar. Atau semakin menuju ke tahap penyelesaian, tergambar bagaimana kehidupan Khodijah ...